Kamis, 18 Desember 2008

Adat Bertamu Masyarakat Sukubangsa Tamiang

T. Lestari


Tamiang
Kabupaten Baru yang berada di perbatasan antara NAD – SUMUT ini memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Aceh. Di abad ke-12 wilayah ini merupakan suatu kerajaan yang pernah mencapai puncak kejayaan di bawah pimpinan Raja Muda Sedia (1330–1336). Dalam perjalanannya, Kerajaan Tamiang-demikian sebutan kerajaan itu-mendapat Cap Sikureung dan hak Tumpang Gantung dari Sultan Aceh Darussalam atas wilayah Negeri Karang dan Negeri Kejuruan Muda. Dalam perkembangannya, pada tahun 1908 terjadi perubahan Staatblad No 112 Tahun 1878, yakni wilayah Tamiang dimasukkan ke dalam Geuvernement Aceh en Onderhorigheden. Artinya, wilayah tersebut berada di bawah status hukum Onderafdeling. [1]
Ada beberapa bukti sejarah yang menunjukkan keberadaan Kerajaan Tamiang, seperti Prasasti Sriwijaya, Buku Wee Pei Shih yang mencatat negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), dan Buku Nagarakretagama menyebut "Tumihang", serta benda-benda peninggalan budaya yang terdapat pada situs Tamiang.[2] Bukti-bukti itulah yang kemudian digunakan untuk memakai nama Tamiang sebagai usulan bagi pemekaran status wilayah Pembantu Bupati Aceh Timur Wilayah III yang meliputi wilayah bekas Kewedanaan Tamiang. Terbentuknya Kabupaten Aceh Tamiang ini berdasarkan UU No 4 Tahun 2002 tertanggal 10 April 2002 dan resmi sebagai kabupaten otonom pada 2 Juli 2002.
Kabupaten ini lahir antara lain juga karena didukung oleh berbagai potensi daerah yang dimilikinya. Di wilayah ini terdapat Perusahaan Minyak Nasional (Pertamina) yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan Kabupaten Tamiang. Selain itu di daerah ini juga terdapat potensi kelautan, berupa tambak udang dan tambak ikan. Potensi ini tergambar dalam lambang kabupaten berupa dua riak air laut dan tujuh anak tangga menara minyak. Angka dua dan tujuh melambangkan hari lahir kabupaten tersebut, 2 Juli.
Masyarakat daerah ini sebagian besar adalah suku Taminag yang merupakan rumpun suku bangsa Melayu yang mendiami pesisir timur Sumatera. Masyarakat Tamiang, seperti halnya suku bangsa lain di NAD, erat kaitannya dengan agama Islam. Islam bagi mereka adalah sebuah agama yang tidak hanya mereka anut sehubungan dengan hubungan mereka dengan Sang Pencipta, akan tetapi telah menjadi sebuah agama yang terserap dalam adat istiadat mereka. Segala kehidupan mereka bersendi kepada agama Islam. Tingkah laku yang dipengaruhi agama dalam masyarakat Tamiang kelihatan menjadi realita dalam struktur masyarakat dan tingkah laku sosial. Sebagian besar tingkah laku sosial tersebut sering disesuaikan dengan mengikuti ketentuan atau norma agama, terutama agama Islam. Pengaruh agama Islam telah sangat berakar dalam jiwa masyarakat Tamiang.
Selain itu, eratnya hubungan Islam dengan kehidupan sehari-hari dapat dilihat dari pepatah yang berbunyi “bersenouh ke bukan qaddar, muang agame pusake celake” yang berarti bertikai bukan suatu nilai, tinggalkan agama pusaka atau adat istiadat hilang dan hal itu dapat menimbulkan celaka. Pepatah itu masih tetap dipegang oleh masyarakat suku bangsa Tamiang hingga saat ini. Namun masih ada juga sebagian kecil masyarakat Tamiang yang masih mempraktekkan dan terpengaruh pada kepercayaan pra-Islam, animisme, dinamisme, magi dan praktek ilmu sihir[3] (T. Syamsuddin, dkk, 1979/1980 : 141 ).
Saling berkunjung mengunjungi merupakan sebuah adat yang selalu ada pada masyarakat timur khususnya masyarakat Tamiang. Bagi mereka, menjaga tali silaturahmi antar keluarga maupun tetangga merupakan sebuah anjuran yang ada dalam agama Islam.

Bertamu
Bertamu adala salah satu kegiatan mendatangi rumah seseorang denan tujuan ingin bertemu dengan tuan rumah untuk tujuan tertentu. Bertamu merupakan salah satu cara untuk mengenalkan diri dan lebih memperkuat jalinan tali silaturahmi antara tamu dengan tuan rumah. Ada beberapa istilah yang digunakan masyarakat suku bangsa Tamiang untuk bertamu diantaranya adalah menjenguk, tukam, dan nupus. Menjenguk ini biasanya dilakukan dengan sukarela. Tukam merupakan istilah untuk bertamu ke tempat orang yang sedang dilanda musibah (kematian) atau bagi masyarakat yang beragama Islam sering disebut dengan takziah, dan nupus adalah bertamu ke tempat orang yang melahirkan.

Menjenguk
Menjenguk merupakan salah satu bentuk bertamu yang dilakukan masyarakat Tamiang. Menjenguk dilakukan oleh orang yang belum kenal dengan tuan rumah maupun yang sudah kenal atau kerabat tuan rumah. Tujuan Menjenguk ini pada umumnya adalah untuk menjalin tali silaturahmi ataupun ada keperluan lain. Menjenguk yang dilakukan oleh orang yang belum kenal dengan tuan rumah pada umumnya dilakukan karena ada kepentingan-kepentingan khusus, misalnya menanyakan sesuatu hal yang hanya diketahui oleh tuan rumah. Sementara itu, menjenguk yang dilakukan oleh sanak keluarga pada umumnya untuk mengetahui kabar keluarganya karena sudah lama tidak bertemu dengan berbagai macam alasan jarak yang jauh ataupun waktu yang cukup lama.
Pada Masyarakat Tamiang, tata cara menjenguk tidaklah diatur secara ketat. Tamu yang datang menjenguk tidaklah ditentukan waktunya. Mereka boleh datang pada waktu pagi, siang maupun malam. Dengan demikian, sang tamu yang menentukan sendiri kapan waktu yang tepat untuk menjenguk. Walaupun demikian, pagi hari selepas sarapan para warga biasanya banyak yang pergi bekerja dan pada siang hari pergi ke ladang maka sebaiknya datang menjenguk di waktu sore hari sehabis waktu salat Ashar dan setelah waktu salat Maghrib. Pada saat waktu salat khususnya salat Maghrib, merupakan saat yang tabu bagi Masyarakat Tamiang untuk menjenguk karena dianggap mengganggu waktu shalat tuan rumah.
Tata cara bertamu pada masyarakat Tamiang dimulai dengan mengetuk pintu terlebih dahulu sambil mengucapkan assalamu’alaikum. Mengetuk pintu dilakukan dengan cara yang wajar artinya tidak mengetuk dengan ketukan yang sangat keras dan terus menerus. Ketukan pintu yang keras dan terus menerus akan memberi kesan bahwa tamu bermaksud kurang baik atau dianggap tidak sopan. Setelah ada jawaban waalaikumsalam dari dalam rumah, maka tamu harus menunggu hingga dibukakan pintu. Membuka pintu untuk tamu bukanlah merupakan tugas tertentu dari salah seorang anggota rumah, namun merupakan tugas setiap anggota rumah yang kebetulan berada di dalam rumah pada saat tamu datang. Oleh karena itu, setiap anggota keluarga seperti anak, ibu, bapak atau anggota keluarga lainnya yang ada di rumah dapat membuka pintu saat tamu datang. Meskipun dalam tata krama diperbolehkan, namun sang ibu biasanya jarang menjumpai tamu terlebih tamu yang belum dikenal. Untuk urusan adat dan kemasyarakatan, sebelum tamu datang mereka memberitahukan terlebih dahulu kedatangannya melalui penghubung.
Dalam acara perkawinan, dalam hal negosiasi waktu dan pengantar undangan dilakukan oleh telangke. Sesuai dengan perkembangan zaman, pada saat ini pemakaian jasa telepon sudah umum dilakukan oleh masyarakat untuk menggantikan jasa penghubung.
Tamu yang datang biasanya menunggu di teras rumah sebelum dipersilahkan masuk. Tamu dipersilahkan masuk melalui pintu depan dan duduk di tempat yang sudah disediakan. Setelah tamu duduk barulah ditanyakan maksud dan tujuan sang tamu datang ke rumah ini.
Penerimaan tamu antara anggota keluarga dengan orang yang bukan anggota keluarga pada umumnya dibedakan. Para tamu yang merupakan anggota keluarga masuk melalui pintu samping atau pintu belakang dan langsung menuju ke dapur belakang. Perilaku atau tata krama demikian juga terjadi pada orang yang bukan anggota keluarga tetapi memiliki hubungan sangat akrab dan sering berkunjung. Sementara itu, tata cara masuk ke dalam rumah untuk para tamu yang bukan anggota keluarga adalah melalui pintu depan.
Pada jaman dahulu, tamu yang datang umumnya dipersilahkan duduk di atas tikar atau ambal yang digelar di ruang depan. Pada masyarakat pedesaan kebiasaan menerima tamu di atas tikar atau ambal masih banyak dilakukan hingga saat ini.
Setelah berbincang-bincang beberapa saat, tuan rumah akan menyuguhkan makanan dan minuman ringan atupun sirih.[4] Menjamu tamu merupakan suatu kewajiban bagi tuan rumah yang harus. Apabila tidak ada jamuan, sang tamu biasanya akan menganggap tuan rumah kurang dapat menghormati tamu. Suguhan kepada tamu pada umumnya diantar atau dihidangkan oleh anak perempuan. Apabila tuan rumah belum memiliki anak perempuan, maka tugas tersebut biasanya dilakukan oleh isteri ataupun anggota keluarga lainnya.
Menyuguhkan makan kepada tamu juga merupakan salah satu bentuk penghormatan dari tuan rumah. Tamu yang datang setelah diajak berbincang-bincang dan menikmati makanan serta minuman ringan maka ketika saat waktu makan tiba akan dipersilahkan untuk makan. Telah menjadi kebiasaan pada masyarakat daerah ini bahwa jika tamu berkunjung pada waktu makan maka tamu tersebut juga dipersilahkan untuk makan bersama-sama tuan rumah. Pada umumnya makanan yang dihidangkan adalah makanan yang ada atau yang dimasak pada hari itu. Kadangkala tamu yang datang disuguhi dengan makanan yang dimasak secara khusus atau spesial. Perlakuan seperti ini umumnya ditujukan kepada orang tua atau orang yang sangat dihormati. Makanan berupa nasi dan lauk pauk dihidangkan dalam pinggan dan disusun di atas tikar. Tuan rumah kemudian mempersilahkan tamu untuk makan bersama di atas tikar. Tikar untuk tamu berbentuk persegi empat dan terkadang menggunakan pelekap. Tikar tersebut oleh suku bangsa Tamiang dinamakan tikar ciau. Seandainya tamu yang datang merupakan tamu kehormatan atau istimewa maka tikar ciau tersebut digelar berlapis-lapis. Tikar berlapis-lapin ini merupakan simbol penghormatan kepada tamu tersebut. Untuk tamu terhormat, misalnya pemimpin adat, maka hidangan disusun di atas dalung.[5] Setelah hidangan tersedia, tuan rumah yang duduk dekat tamu tersebut biasanya langsung mempersilahkan sang tamu untuk makan.
Kebiasaan yang terjadi pada para tamu di daerah ini adalah membawa buah tangan. Pada dasarnya membawa buah tangan bukan suatu hal yang harus dilaksanakan, tetapi dilatarbelakangi oleh budaya malu di kalangan masyarakat Tamiang. Buah tangan yang dibawa tergantung dari tingkat kedekatan tamu dan tuan rumah serta keadaan ekonomi sang tamu. Namun biasanya ada semacam kesepakatan tidak tertulis yang mengatakan bahwa bila menjenguk ke rumah orang yang dituakan maka sebaiknya membawa buah tangan berupa gula/ kopi/buah-buahan/membawa makanan hasil buatan sendiri atau hasil kebun sendiri. Hal tersebut dilakukan sebagai tanda penghormatan bagi tuan rumah. Buah tangan yang merupakan hasil kebun sendiri atau buatan sendiri memberikan nilai yang lebih atau memberikan kesan bahwa buah tangan tersebut merupakan sebuah simbol penghormatan yang dalam terhadap orang yang lebih tua.

Tukam
Tukam merupakan istilah yang dipergunakan suku bangsa Tamiang untuk menyebut datang bertamu ke tempat orang yang sedang dilanda musibah (kematian) atau bagi masyarakat yang beragama Islam sering disebut dengan takziah. Disebut tukam jika bertakziah pada hari sebelum dilaksanakan tahlilan hari pertama. Pada umumnya tukam dimulai dengan adanya kabar bahwa ada salah satu anggota masyarakat yang tertimpa musibah. Kabar tersebut bisa disebarkan dari mulut ke mulut atau diumumkan di meunasah atau masjid. Setelah kabar tersebut diketahui oleh tetangga sekitarnya, maka para tetangga tersebut akan datang berkunjung ke rumah yang tertimpa musibah. Umumnya tamu yang datang disambut oleh sanak kerabat dari orang yang tertimpa musibah itu dengan cara menggelar tikar atau ambal di dalam rumah serta meletakkan kursi di pelataran atau halaman rumah. Apabila yang meninggal itu anak dari yang punya rumah, maka sang ibu akan duduk di ruang keluarga atau di ruang dalam dan sang bapak duduk di luar rumah. Apabila yang meninggal adalah si ibu, anak-anak yang sudah dewasa biasanya ikut membantu mempersiapkan keperluan untuk menyelenggarakan jenazah dan bapak duduk di luar rumah. Apabila si bapak yang meninggal, si ibu duduk di ruang dalam bersama anak-anaknya yang masih kecil sedangkan anak-anak yang sudah dewasa ikut membantu menyelenggarakan jenazah si bapak.
Umumnya tamu laki-laki duduk di atas kursi yang telah disediakan di halaman rumah dan tamu perempuan duduk di dalam rumah di atas tikar atau ambal yang telah disediakan. Setelah beberapa saat tamu boleh pulang atau ikut mengantar jenazah ke kuburnya setelah sebelumnya menyelipkan uang ke beras yang ditempatkan di dalam baskom-baskom atau piring yang sudah disediakan di tengah-tengah tikar, ambal dan meja. Para tamu yang datang pada umumnya membawa gula, kopi, atau teh, dan juga dapat membawa uang untuk kaum ibu, sedangkan kaum laki-laki pada umumnya da yang memeberikan sumbangan berupa uang dan juga berupa tenaga dengan cara memepersiapkan segala sesuatu peralatan yang diperlukan dalam penguburan jenazah.
Setelah prosesi pemakaman selesai, keesokan atau beberapa hari setelahnya akan dilanjutkan dengan acara tahlilan. Pada acara ini tamu yang datang dijamu dengan kue atau makanan yang dihidangkan di atas tikar. Tamu yang datang dipersilahkan duduk di atas tikar. Waktu acara ini dilakukan setelah waktu ashar bagi kaum ibu-ibu dan setelah maghrib bagi bapak-bapak. Pada umumnya tamu yang datang terlebih dahulu mengadakan janji untuk bersama-sama datang ke tempat acara.

Nupus
Nupus adalah berkunjung ke tempat orang yang baru melahirkan dan membawa makanan yang bergizi dan baik. Ada beberap aturan yang harus dipatuhi dalam berkunjung ke tempat orang melahirkan. Pada saat isteri tuan rumah melahirkan tamu yang diluar kerabat dilarang bertamu ke rumah tersebut untuk tujuan menengok yang melahirkan. Mereka harus menunggu setelah seminggu melahirkan baru boleh datang bertamu. Setelah waktu seminggu, tamu yang bukan anggota kerabat dapat datang menengok dengan membawa makanan yang bergizi dan baik yang diletakkan dalam sebuah dalung. Sedangkana anggota keluarga diberi kebebasan untuk berkunjung kapan saja pada saat saudaranya melahirkan. Ada juga beberapa tamu yang berkunjung pada saat upacara kendhuri 44 hari. Pada saat kendhuri tersebut diundang tetangga untuk hadir dalam acara tersebut yang berupa acara potong rambut dan juga pemberian nama si jabang bayi.
















[1] www.kompas.com, edisi 02 Maret 2004.
[2] Ibid.
[3] Syamsuddin,T, (et al.), 1979, Adat-Istiadat Daerah Propinsi Nanggro Aceh Darussalam, Banda Aceh: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Hal. 141.

[4] Sirih merupakan lambang penghormatan dan kemuliaan bagi tamu yang datang. Sirih disusun dan dihidangkan dalam sebuah tempat khusus.
[5] Dalung adalah pinggan tempat menghidangkan makanan yang berbentuk seperti talam bulat dan berkaki.

Tradisi Balamang

Tradisi Balamang
MASYARAKAT ANEUK JAMEE
Oleh : Essi Hermaliza
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh
2006

Ramadhan merupakan bulan suci yang sangat sakral dalam Islam. Di Aceh, Ramadhan disambut dengan suka cita yang tergambar jelas dalam tradisi-tradisi khas yang selalu dilaksanakan setiap tahun. Dua hari sebelum tibanya bulan suci Ramadhan dikenal oleh masyarakat Aceh sebagai Uroe Makmeugang. Di hari tersebut seluruh rumah memasak aneka masakan khas Meugang. Dari daging sapi atau kerbau, leumang (penganan dari beras ketan yang dimasak di dalam bambu), Timphan (penganan yang rasanya manis dari tepung ketan yang dibungkus dengan daun pisang), Tapee, Ketupat, dan lain-lain. Tradisi ini dilaksanakan di seluruh Aceh dengan cara yang berbeda-beda.
Salah satu tradisi unik di hari Meugang ini adalah tradisi yang ada pada masyarakat suku bangsa Aneuk Jamee, khususnya di daerah Aceh Barat Daya. Di daerah ini di hari Meugang dikenal adanya tradisi Mambantai dan Balamang. Kedua tradisi ini selalu dilaksanakan setiap tahun sebelum Ramadhan setiap generasi ke generasi.
Mambantai adalah tradisi penyembelihan hewan yang nantinya dimasak untuk keperluan Meugang. Kegiatan ini dilakukan oleh kaum laki-laki. Mereka berkumpul di sebidang tanah yang cukup luas. Prosesi ini dipimpin oleh seorang pawang yang benar-benar memahami tata cara dan doa dalam penyembelihan dan dibantu oleh beberapa orang yang bertugas mengikat kaki dan merebahkan hewan yang akan disembelih dengan posisi menghadap kiblat. Sampai pada proses pemotongan daging dan siap dimasak oleh kaum perempuan.
Selain itu, dihari yang sama ada pula tradisi Balamang yang dilaksanakan oleh hampir semua keluarga disana. Balamang berarti tradisi memasak lemang. Uniknya Lemang tersebut dimasak bersama-sama oleh semua perempuan yang ada dalam keluarga yang biasanya diikuti oleh tiga generasi; nenek, ibu dan anak perempuan. Mereka mendapat porsi tugas masing-masing sesuai usia. Nenek dianggap orang yang paling ahli dalam memasak lemang. Ia bertugas sebagai orang yang mengaduk semua bahan dengan takaran yang sesuai. Selain itu ia juga yang paling mengerti cara memasukkan beras kedalam bambu. Generasi yang lebih muda kebagian tugas mencari, memotong dan membersihkan bambu untuk memasak lemang. Suatu hal yang menjadi pantangan bahwa bambu (buluh) tidak boleh dilangkahi karena dapat menyebabkan beras ketan yang dimasak di dalam buluh tersebut alak akan keluar (menjulur) saat proses pemanggangan (dibakar di bara api) dalam posisi berdiri bersandar pada besi tungku. Biasanya bambu dicuci di sungai dengan menggunakan sabut kelapa untuk mengikis miang yang melekat pada bambu (buluh) agar tidak gatal lagi. Gerakan menggosok batang bambu juga ditentukan yaitu satu arah, tidak boleh bolak balik untuk mencegah miang tadi melekat kembali. Gerakannya juga tidak boleh terlalu keras agar tidak merusak buluh. Generasi kedua ini juga bertugas memeras santan dengan memisahkan santan kental dan encer. Sedangkan generasi ketiga adalah generasi yang sudah harus mempelajari cara memasak lemang. Ia harus memperhatikan dengan baik setiap prosesnya. Tugasnya lebih ringan, mulai dari mencari daun pisang, lalu memilih dan memotong daun muda yang tidak mudah robek untuk dimasukkan ke dalam buluh lemang. Ia juga harus mencuci beras hingga bersih.

1. Media untuk memasak.
- Buluh atau bambu berdiameter 5-7 cm dipotong kira-kira sepanjang 50 cm, buluh tersebut tidak terlalu muda dan tidak pula terlalu tua, supaya tidak mudah pecah ketika dibakar.
- Dinding dalam buluh dilapisi daun pisang muda, biasanya dianjurkan untuk menggunakan daun pisang kepok (Jamee: Pisang Abu) karena daun pisang jenis ini tidak mudah robek.
- Daun pisang dimasukkan dengan menggunakan pelepah atau tulang daun pisang. Pelepah tersebut dibelah bagian tengahnya untuk menjepit salah satu sisi daun lalu di gulung dengan ukuran lebuh kecil dari diameter bibir buluh, kemudian dimasukkan ke dalam buluh, setelah posisi daun telah tepat lalu pelepah pisang ditarik perlahan-lahan dengan merenggangkan jepitannya.
- Perlu disiapkan pula tungku sandaran buluh untuk proses pembakaran. Jadi buluh berada di satu sisi tungku dan api disisi yang lain. Buluh lemang tadi disandarkan dengan posisi sedikit tegak atau dengan kemiringan 75°-80°. Posisi ini dirubah sesuai kadar kematangan lemang. Artinya lemang sekali-kali diputar supaya masaknya lebih merata. Begitu pula kemiringannya, semakin matang maka semakin miring posisi lemang agar bagian bawah tidak hangus dan bagian atas juga matang.

2. Komposisi/bahan Lemang dan proses pembuatannya.
Bahan dasar :
- Beras ketan putih
- Santan kental
- Garam secukupnya
Takaran:
Untuk 1 bambu atau 2 liter beras ketan membutuhkan santan kental dari 3 butir kelapa. Sedangkan takaran garam sesuai selera, kira-kira bila dicicipi seasin air laut, tidak terlalu asin dan tidak pula tawar. Dengan beras ketan dan santan sebanyak ini cukup untuk 4 sampai 5 batang buluh berdiameter 5-7 cm. Dalam satu keluarga, biasanya menghabiskan 2-3 bambu beras ketan.
Cara membuatnya:
Beras ketan yang telah dicuci bersih dituang ke dalam wadah yang cukup besar. Lalu dimasukkan genggam demi genggam ke dalam bambu kira-kira 4-5 genggam atau kurang sejengkal dari bibir bambu yang telah dilapisi daun pisang. Hal ini dimaksudkan agar ketika mendidih santan tidak meleleh keluar. Lalu dalam posisi berdiri, santan kental yang telah diberi garam secukupnya diisi perlahan sebatas selayang diatas beras ketan. Untuk memastikan santan merata sampai ke bawah, sebatang lidi ditusuk persis di tengah beras sampai ke dasar buluh sehingga melalui lidi itu santan dapat meresap. Setelah itu lemang siap dibakar pada bara api yang cukup panas untuk sederetan lemang, bukan dengan api yang menyala besar karena dengan begitu lemang mudah hangus sedangkan bagian dalamnya masih mentah. Dalam proses pembakaran ini, nyala bara api harus tetap dijaga, demikian pula lemang, sesekali dibalik dan diatur kemiringannya hingga matang.
Setelah matang dan sudah tidak terlalu panas lemang siap disajikan. Buluh mula-mula dibelah, lemangnya diangkat pada sepotong daun pisang dan dipotong-potong sesuai selera. Lemang biasanya disajikan dengan tapee ketan hitam, rendang, kari atau serikaya.
Menurut tradisi daerah setempat, lemang biasanya dibuat lebih banyak agar dapat dibagikan kepada kaum kerabat dan tetangga. Semakin banyak orang yang bisa ikut menikmati maka lemang tersebut akan semakin berkah. Sehingga lelah seharian memasak terbayar dengan kenikmatan yang diperoleh dari kebersamaan.
Uniknya lagi proses pembuatan lemang ini biasanya dilakukan bersama-sama dari beberapa keluarga. Maksudnya, beberapa tetangga atau kerabat dekat berkumpul di salah satu rumah yang memiliki sebidang tanah yang cukup untuk membakar lemang. Maka kemudian semua bahan dikumpulkan, lalu dimasak bersama-sama. Proses ini akan terasa sangat ringan karena dikerjakan bergotong-royong sembari memupuk silaturrahmi antar sesama.
Dari kegiatan ini ada banyak nilai yang dapat disimpulkan. Dari proses penyediaan bahan sampai memasak lemang memperlihatkan bahwa secara moral mereka telah menanamkan sikap bertanggung jawab pada tiap generasi. Tanpa diperintah masing-masing tahu apa saja tugas mereka dan tahu kapan mereka harus mengerjakannya. Selain itu, dalam proses pembuatan juga terkandung nilai kebersamaan dan kekompakan karena itu dapat diukur dari rasa lemang yang dihasilkan. Secara umum banyak orang yang percaya bahwa rasa masakan yang dikerjakan oleh satu orang akan lebih enak daripada banyak orang. Hal ini tidak berlaku dalam tradisi memasak lemang. Karena lemang memang untuk dikerjakan bersama-sama. Dari kerukunan pasti dapat menghasilkan lemang yang enak dan lezat. Rasanya dapat dicicipi oleh beberapa lidah. Nilai kegotong-royongan sangat kental dalam tradisi ini. Balamang dapat dijadikan salah satu tradisi yang dapat mengikat persatuan dan kesatuan tidak hanya dalam satu keluarga namun juga satu kampung. Bahkan dapat dilihat, untuk menikmati lemang satu keluarga harus berbagi dengan orang lain.

Makanan Tradisional

Makanan Tradisional Batak
Sambal Tinuktuk

Tinuktuk adalah sejenis sambal khas Batak Simalungun. Saat ini sulit menemukan makanan khas tersebut baik di pasar tradisional maupun di rumah makan khas Batak. Kelangkaan ini disebabkan karena cara pembuatannya yang sedikit rumit sehingga orang malas untuk membuatnya. Disamping bahannya, takaran dan cara pembuatannya harus secara tradisional jika menginginkan kualitas sambal yang enak dan tahan lama. Bahan-bahannya terdiri dari sejumlah jenis rempah-rempah yang diolah sedemikian rupa. Rasanya gurih, pedas, panas dan sebagaimana sambal pada umumnya, ia cocok untuk menambah nafsu makan. Sambal Tinuktuk lebih enak dimakan dicampur dengan ikan mas, mujahir, nila bakar. Dalam masakan khas Batak dikenal dengan Tinombur. Sambal Tinuktuk disiram dengan air panas dan dilumuri pada ikan bakar atau daging. Sambal tinuktuk sangat enak dinikmati dalam suasana udara dingin. Sambal Tinuktuk ini cukup menarik selera makan dan membuat lidah bergetar.
Makanan ini adalah makanan yang hampir selalu muncul pada orang yang bau melahirkan. Pada saat orang menjenguk ke rumah dan disuguhi makan siang atau malam maka pemandangan yang jamak adalah di depan sang ibu yang baru melahirkan ada botol yang berisi tinuktuk. Sambal tinuktuk itu menjadi menu wajib bagi ibu yang melahirkan, bersama sayuran bernama bangun-bangun. Sambal ini bahkan tidak pernah jauh dari jangkauan ibu yang baru melahirkan bahkan kadang-kadang kerap diletakkan di sebelah tempat tidur ibu yang baru melahirkan.
Tinuktuk menjadi menu wajib bagi para ibu yang baru melahirkan karena dianggap mempunyai khasiat seperti halnya jamu. Jamu yang dimaksud adalah jamu yang berbahan alami tanpa bahan kimia sehingga lebih menyehatkan dan cocok bagi wanita yang baru melahirkan. Makanan ini berkhasiat sebagai penambah nafsu makan, menghangatkan badan dan dapat menambah daya tahan tubuh bagi ibu yang menyusui.
Selain khasiatnya untuk kesehatan, tinuktuk menjadi popular terutama karena kepraktisannya. Makanan ini awet dan tidak basi dalam waktu berminggu-minggu. Pada jaman dahulu, tinuktuk ini mempunyai tempat yang khas yaitu dimasukkan dalam tabung yang terbuat dari bambu. Pada saat sekarang sudah janrang orang menggunakan tabung bambu tetapi tinuktuk dimasukkan ke dalam botol besar, seukuran botol kecap. Botol itu diisi sampai penuh. Karena sambal tinuktuk berbentuk semi padat, maka untuk mengambilnya biasanya ada semacam alat tusuk yang terbuat dari lidi. Lidi ini berguna untuk melempangkan jalan tinuktuk sewaktu botol itu kita miringkan ke piring agar tinuktuknya jatuh ke piring tersebut.

Pembuatan Sambal Tinuktuk
Bahan¼ kg Kencur (dikupas dan diiris)
¼ kg Jahe Merah (dikupas dan diiris)
Bawang merah secukupnya (dikupas dan diiris)
Bawang putih secukupnya (dikupas dan diiris)
½ muk kecil Lada hitam
20 biji Kemiri (dikupas)
Garam secukupnya
1 ikat Bawang Batak (tanpa daun)
Buah Kincung (Sihala) secukupnya
Cara Membuat
Bahan-bahan yang ada digonseng secara terpisah, menjadi tiga kelompok:1. Lada dan garam digonseng, tidak usah sampai hitam2. Kemiri digonseng3. Kencur, jahe merah, Bawang Merah, Bawang Putih dan Bawang Batak digonseng.Kemudian semua bahan yang sudah digonseng itu ditumbuk (diulek) masing-masing terpisah menurut kelompoknya. Setelah ditumbuk halus, ditampi dengan nyiru untuk mendapatkan serbuk paling halus. Serbuk sisanya yang masih kasar, diulek lagi hingga halus sekali. Begitu seterusnya. Bahan-bahan yang sudah diulek ini kemudian disatukan dan ditumbuk lagi secara bersama-sama. Terakhir, buah incung atau sihala, ditumbuk, diperas dan air hasil perasan itu menjadi semacam cairan asam bagi tinuktuk yang sudah jadi.
Resep di atas adalah salah satu versi sambal tinuktuk. Ada juga versi lain dengan bahan yang agak berbeda tetapi ada satu hal yang selalu ada yaitu lada, maka sambal tinuktuk ini juga dikenal dengan sambal lada. Bahan-bahan lain yang juga digunakan adalah lada hitam, jahe, kencur, bawang merah, bawang putih, wijen hitam (longa), kemiri, garam, jeruk nipis khas Batak (unte hajor), lengkuas, Tuba (andaliman), Temulawak (Lempuyang).
Kelangkaan makanan ini dapat mengancam keragaman budaya yang kita miliki jangan sampai hilang. Mengingat keawetan makanan ini maka tidak tertutup kemungkinan menjadikan sambal ini sebagai salah satu makanan tradisional penunjang pariwisata untuk dijadikan oleh-oleh khas daerah. Dan sebagai langkah yang lebih maju adalah tidak tertutup kemungkinan untuk menjadikan sambal ini sebagai sambal instan kemasan seperti halnya sambal lampung ABC, sambal Bangkok Indofood dan nantinya aka nada sambal Tinuktuk ABC.

Sumber :
- http://www.mysarimatondang.blogspot.com
- http://www.simalungun.net

Pengumpul Data : Titit Lestari, S.Si.
-